Catatan Hukum Mansur Kartayasa
SALAH satu hal terpenting dalam penanganan suatu perkara
pidana ialah masalah pembuktian. Hal itu dikarenakan tindakan aparat penyidik
maupun penuntut umum diarahkan kepada upaya pencarian alat-alat bukti yang
berkaitan dengan apa yang dilakukan tersangka yang akhirnya harus dibuktikan
oleh jaksa di depan sidang pengadilan.
Selama ini penanganan perkara korupsi, baik pada tahap
penyidikan maupun penuntutan, selalu dilakukan dengan menggunakan dasar pasal 1
ayat (1) sub a dan b UU No 3/1971 yang merumuskan tindak pidana korupsi sebagai
delik materiil yang mensyaratkan adanya unsur kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara sebagai akibat yang harus dibuktikan oleh jaksa di depan
persidangan, meskipun pasal 1 ayat (1) b mencantumkan kata "dapat"
sebelum kata-kata merugikan keuangan negara atau perekonomian negara yang
berarti tidak mutlak harus betul-betul telah timbul kerugian keuangan negara
atau perekonomian negara yang artinya suatu kemungkinan kerugian saja dapat
terkena oleh pasal 1 (1) b ini. Namun karena rumusannya tidak menghilangkan
sifat delik tersebut sebagai delik materiil yang menghendaki terjadinya akibat
yaitu kerugian keuangan negara atau perekonomian negara maka tetap saja para
hakim banyak yang membebaskan terdakwa karena syarat kerugian keuangan negara
atau perekonomian negara tersebut tidak terpenuhi, sebab terdakwa sudah
terlebih dahulu mengembalikan uang negara yang dikorupsinya, bahkan banyak pula
kasus/ perkara yang terpaksa tidak dilanjutkan ke pengadilan karena terdakwa
telah menyetor kembali kerugian yang diderita kepada negara.
KAMI berpendapat sebenarnya pembebasan oleh hakim, maupun
penghentian penyidikan tindak pidana korupsi yang disebabkan perbedaan persepsi
tentang rumusan delik dalam pasal 1 (1) a dan b sebagai delik materiil maupun
adanya putusan Mahkamah Agung RI Reg No 42 K/Kr/1965, tidak perlu terjadi
apabila kita melihat adanya pasal 1 ayat (2), menyangkut percobaan melakukan
tindak pidana korupsi yang sudah barang tentu hal tersebut harus didakwakan
jaksa dalam surat dakwaannya. Di samping itu pada saat penyidikan pun penyidik
harus mengarahkan pula pada pasal percobaan korupsi tersebut pada pasal 1 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 pada saat pemeriksaan dilakukan sehingga
kritik terhadap kelemahan UU No 3/1971 terjawab.
Selain itu, penerapan pasal 1 ayat (1) c, d dan e kurang
memperoleh perhatian untuk dijadikan dasar pemeriksaan perkara korupsi. Para
penyidik hampir selalu terpaku pada penerapan pasal 1 ayat (1) a dan b saja,
padahal kita mengetahui bahwa tindak pidana korupsi terjadi hampir seluruhnya
akibat adanya hubungan antara pegawai negeri atau pejabat yang didahului dengan
pemberian janji, hadiah, pemberian upeti, fasilitas atau apa pun namanya yang
nanti akan berlanjut dengan tegen prestasi berupa pemberian proyek, kredit atau
penetapan sebagai pemenang lelang maupun fasilitas negara lainnya secara tidak
sesuai dengan peraturan atau ketentuan yang berlaku kepada pengusaha atau orang
yang bersangkutan.
Oleh karena itu pembuat UU telah mengadopsi pasal-pasal KUHP
yang berkaitan dengan hal tersebut, baik dalam UUP-TPK lama Cq UU Nomor 3 Tahun
1971 sebagaimana tersebut dalam pasal 1 ayat (1) sub c maupun pasal 6 sampai
dengan pasal 12 UUP-TPK yang baru yaitu UU Nomor 31 Tahun 1999 yang dimaksudkan
agar kesulitan yang dijumpai oleh Penyidik maupun Penuntut Umum dalam penerapan
pasal 1 ayat (1) a dan b yang dirumuskan dengan delik materiil yang berkaitan
dengan pembuktian ada atau tidaknya unsur kerugian negara dapat teratasi,
tinggal kemauan dan kesungguhan untuk menerapkannya dalam praktik.
Dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru yaitu
UU No 31/1999 hal-hal tersebut telah dirumuskan kembali sebagaimana terdapat
dalam pasal-pasal, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13 dan pasal 16, selain itu dalam
pasal 2 dan pasal 3 dicantumkan kata "dapat" sebelum kata-kata
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, yang menunjukkan bahwa
tindak pidana korupsi merupakan delik formil yaitu adanya tindak pidana korupsi
cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan bukan dengan timbulnya akibat
kerugian negara atau perekonomian negara. Di samping itu pasal 4 UU No 31/1999
menghapuskan keraguan selama ini dan ketidakpastian hukum serta kontroversi
yang berkaitan dengan pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian
negara yang selama ini menjadi alasan yang dapat menghilangkan sifat melawan
hukum tindak pidana korupsi, dalam pasal ini ditegaskan bahwa pengembalian
kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan
dipidananya pelaku tindak pidana, ketentuan ini sungguh-sungguh akan menjadi
tonggak penting dalam upaya pemberantasan korupsi di masa depan. Tinggal sejauh
mana para pelaksana UU mampu menjadi alat efektif memberantas korupsi.
Dengan demikian dalam memfungsikan suatu UU, faktor yang
terpenting ialah manusia pelaksananya seperti dikatakan Prof Taverne: Berilah
aku hakim yang baik, jaksa yang baik, polisi yang baik. Dengan UU yang kurang
baik sekali pun, hasil yang dicapai pasti akan lebih baik.
Mansur Kartayasa, Sekretaris Jaksa Agung Muda Pidana Khusus
Kejagung
UU PEMBERANTASAN TP KORUPSI DAN PROSPEKNYA
Reviewed by Unknown
on
Monday, August 25, 2014
Rating:
No comments: