Patologi adalah bahasa kesehatan yang yang skarang lazim digunakan dalam dunia pemerintahan. Kata patologi dalam birokrasi mempunyai arti bahwa di dalam pemerintahan terdapat suatu penyakit.
Patologi artinya penyakit dalam bahasa kesehatan, artinya jika kita mendengat kata patologi birokrasi maka dalam pemerintahan tersebut terdapat patologi dan biasanya patologi di dalam pemerintahan tidak pernah ada yang bisa di anggap sepele, misalnya saja dalam perekrtutan pegawai negri sipil bukan melihat dari skill dan potensi yang dimiliki akan tetapi melihat berdasarkan kekeluargaan, kerabat, atau siapa yang punya uang dia yang lolos.
Mari masuk ke pembahasan Birokrasi hahaha ... ! Kutip ajah dari wikipedia yah, singkat aja tapi jelas lah !!!
Birokrasi berasal dari kata bureaucracy (bahasa inggris bureau + cracy), diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida, di mana lebih banyak orang berada ditingkat bawah daripada tingkat atas, biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya administratif maupun militer.
Pada rantai komando ini setiap posisi serta tanggung jawab kerjanya dideskripsikan dalam organigram. Organisasi ini pun memiliki aturan dan prosedur ketat sehingga cenderung kurang fleksibel. Ciri lainnya adalah biasanya terdapat banyak formulir yang harus dilengkapi dan pendelegasian wewenang harus dilakukan sesuai dengan hirarki kekuasaan.
Pada rantai komando ini setiap posisi serta tanggung jawab kerjanya dideskripsikan dalam organigram. Organisasi ini pun memiliki aturan dan prosedur ketat sehingga cenderung kurang fleksibel. Ciri lainnya adalah biasanya terdapat banyak formulir yang harus dilengkapi dan pendelegasian wewenang harus dilakukan sesuai dengan hirarki kekuasaan.
PATOLOGI BIROKRASI
Di dalam dunia medis dikenal dengan istilah patologi yang memiliki pengertian penyakit. Dari pengertian diatas mungkin ada ketidaksinkronan dalam pemaduan dua kata namun itu hanyalah sekedar istilah untuk menggambarkan bahwa dalam birokrasi di Indonesia masih belum tertata dengan baik. Bahayanya manakala penyakit tersebut tidak segera di ”periksa”ke ahlinya maka akan menggejala dalam sebuah sistem yang tidak ada ujung dan pangkalnya. Dalam birokrasi ada sebuah sistem yang sulit ditembus karena permasalahan kultur. Melihatbirokrasi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dengan budaya politik yang ada di Indonesia. Budaya inilah yang sangat sulit dirubah karena berkaitan dengan moral Sumber Daya Manusia. Ini menjadi gejala awal ”penyakit” karena meskipun perekrutan dilaksanakan secara terbuka namun masih ada fenomena kecenderungan ke arah patronase. Sebuah pola yang memanfaatkan ”simbiosis mutualisme” (hubungan yang bersifat menguntungkan).Maka dari itu perlu penataan kembali birokrasi di Indonesia agar terwujud pelayanan prima.
Dalam perjalanan Bangsa Indonesia birokrasi tidak
bisa dilepaskan dalam system pemerintahan. Keberadaan birokrasi sampai
saat masih membawa polemic yang berkepanjangan. Tuntutan reformasi
setidaknya telah merubah wajah birokrasi Indonesia meskipun belum
terlalu signifikan. Agenda reformasi dalam tubuh birokrasi di Indonesia
ditujukan bukan lagi sekedar untuk membangun Institusi birokrasi yang
professional secara menejerial, namun pada bagaimana birokrasi tersebut
mampu merepresentasikan konfigurasi social yang ada untuk menjamin
keterwakilan masing – masing komunitas social yang telah mengakar kuat
di dalam tubuh birokrasi. Pendeteksian penyakit birokrasi atau yang
sering disebut patologi dalam dunia medis sebainya juga dilakukan kepada
birokrasi di Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar penyakit – penyakit
yang ada dalam tubuh birokrasi di Indonesia tidak menular ke yang
lainnya sebagi upaya preventif bahkan lebih dari itu bisa disembuhkan
secara total meskipun membutuhkan waktu yang lama. Upaya meminimalisir
penyakit yang terjadi di birokrasi dihrapkan dapt membawa perubahan
terhadap pelayanan public yang prima.
Persoalan patologi atau penyakit
birokrasi bersumber dari rekruitmen dan penempatan birokrat yang tidak
berdasarkan merit system (berdasarkan jenjang karir). Selain itu
keterlibatan birokrasi dalam politik dianggap sebagai hal yang harus
diwaspadai karena birokrasi bukanlah institusi atau lembaga yang bisa
mewakilkan kepentingan kelompok atau golongan tertentu. Secara makro
atau nasional persoalan birokrasi di Indonesia lebih di dominasi karena
kurangnya pemisahan atau segresi yang jelas antara kepentingan politik
dan administrasi. Masih seriong dijumpai birokrat terlibat secara aktif
dalam kegiatan politik dan juga adanya politisi yang selalu mendominasi
proses – proses birokrasi sehinggga kebijakan yang diambil dalam
birokrasi merupakan kebijakan politik dari orang – orang yang memiliki
kepentingan tertentu. Reformasi birokrasi di Indonesia masih bergulir
namun sampai saat ini belum ada regulasi (peraturan) yang menjamin
depolitisasi birokrasi secara subtansial. Persoalan tersebut seperti
mengurai benang kusut karena ke depan bila model birokrasi yang seperti
it uterus dijalankan akan dapat memunculkan konflik tertutama
menimbulkan praktik kolusi dan nepotisme dalam rekruitmen, penempatan,
promosi dan mutasi birokrasi masih sering terjadi. Praktik – praktik
yang seperti ini pada kenyataannya sudah menjadi rahasia umum yang pada
akhirnya praktik – praktik korupsi dan pengamanan sumber –sumber ekonomi
termasuk keuangan Negara dari kelompok yang sedang berkuasa dengan
menjalin korporasi menjadi sebuah system yang penuh dengan korupsi,
kolusi dan nepotisme.
Sistem model birokrasi Weber dianggap
juga sebuah system yang kurang efektif untuk dijalankan di Indonesia
karena hal ini sangat berhubungan dengan kultur budaya di Indonesia
yaitu patron klien. Model tersebut, dianggap menyuburkan korupsi, kolusi
dan nepotisme di Indonesia. Tuntutan merit system dalam rekruitmen
birokrasi terutama di daerah ternyata sulit dipenuhi karena persoalan
primordialisme. Rekruitmen pegawai baru maupun penempatan jabatan public
lebih ditentukan oleh penguasa daerah (kepala daerah atau kekuatan
birokrasi dominan). Praktik ini semakin meminggirkan kelompok lain
sehingga memunculkan kecemburuan dan bahkan kebencian kepada kelompok
yang sedang berkuasa. Pada akhirnya konfliklah yang terjadi baik
vertical maupun horizontal karena motif kepentingan. Dengan penyakit
yang seperti diungkapkan diatas perlu penanganan yang serius agar tidak
mewabah tentunya dengan regulasi yang jelas dan merubah kultur birokrasi
agar tidak terjadi penyimpangan – penyimpangan dalam bentuk Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme.
2. MEMAHAMI BIROKRASI
Menurut beberapa orang menganggap bahwa birokrasi
adalah sebuah organisasi yang paling efesien namun dilapangan hal ini
menjadi berbeda. Menurut Pichot cir- ciri birokrasi yang birokratis
adalah sebagai berikut :
-
Rantai Komando yang hirearkhis
Struktur organisasi birokratis bebentuk piramida
dengan kekuasaan seorang pemimpin di puncak yang membagi – bagi
keseluruhan tugas – tugas dalam organisasi serta memberikan tanggung
jawab bagi sub tugas kepada setiap sub pemimpin melalui rantai komando
yang tidak terputus. Dalam system yang hirearkhis seperti ini keputusan
diperoleh langsung dari atasan yang terkadanmg kurang menyerap aspirasi
bawahan karena bawahan hanyalah pelaksana yang harus melaksanakan tugas
yang diperintah oleh atasan. Birokrasi yang hirearkhis ini juga
memberikan peluang kepada orang untuk melakukan Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme karena budaya yang dibangun adalah budaya patron clien dimana
seorang bawahan harus siap melaksanakan segala sesuatu yang diperintah
oleh atasan. Peluang juga akan muncul manakala kekuasaan yang dimiliki
akan disalah gunakan untuk kepentingannya sendiri yaitu mengeruk sebesar
– besarnya untuk kepentingan pribadi dengan mengenyampingkan
kepentingan umum. Motif ekonomi juga menjadi dasar bagi para pemegang
kekuasaan dengan kekuatannya sebagi seorang atasan karena wewenangnya
yang diberikan penuh oleh system.
-
Spesialisasi berdasarkan fungsi
Struktur organisasi yan birokratis diciptakan dengan
membagi tugas – tugas ke dalam spesialisasi atau fungsi yang jelas. Hal
ini memungkinkan setiap karyawan untuk berkonsentrasi hanya kepada aspek
– aspek yang kecil dari keseluruhan aktivitas organisasi. Dengan
spesialisasi pekerjaan dilihat dari sisi positifnya memberikan kemampuan
kepada karyawan agar tefokus pada bidang tertentu ini berarti adanya
skill khusus dalam mengerjakan sesuatu namun dari negatifnya dengan
adanya spesialisasi karyawan menjadi kurang mampu menguasai bidang –
bidang yang lainnya. Pembagian kerja ini juga mengakibatkan tidak adanya
budaya saling membantu terhadap bidang yang lain dikarenakan masing –
masing bidang hanya akan mengurusi wilayah kerjanya sendiri.
-
Peraturan tertulis dan kebijkan yang seragam
Pemimpin bertanggungjawab terhadap keseluruhan
tindakan – tindakan bawahannya serta memilki hak untuk memberikan
perintah yang wajib dipatuhi oleh bawahan. Kebijakan merupakan sebuah
tindakan yang dilakukan untunk mebuat decision yang akan berimbas kepada
publik namun bisa dipastikan dalam birokrasi kebijakan yang dibuat oleh
atasan hampir seragam. Kebijakan ini membuat para pengguna kebijakan
menjadi tidak memilki peluang untuk menyampaikan aspirasinya. Model
keseragaman ini setidaknya meminimalisir bawahan untuk terlalu ikut
campur atau melakukan pengawasan terhadap atasan sehingga ada
keleluasaan dari atasan untuk berbuat segala sesuatunya karena kurangnya
pengawasan. Dampak dari pemngambilan keputusan yang salah akan langsung
berimbas ke publik karena model keseragam yang diterapkan di setiap
instansi pemerintah adalah sama.
-
Prosedur yang terstandarisasi dalam pekerjaan
Hal ini kadang – kadang terjadi bahkan sampai kepada
tingkat yang paling detail.Prosedur yang standar ini bermanfaat untuk
mengatasi resistensi yang tidak rasional sehingga pekerjaan yang
dilakukan menjadi lebih efektif. Dalam menjalannkan tugasnya seorang
karyawan harus bekerja dengan instruksi pimpinan dan juga berdasarkan
tugas, pokok dan fungsi. Adanya standarisasi seharusnya menjadikan
birokrasi bekerja dengan optimal dalam memberikan pelayanan kepada
publik.
Berikut akan disampaikan cara kerja birokrasi model tradisional dan cara kerja birokrasi baru.
-
Cara Kerja Tradisional
Cara kerja tradisional ini mewarnai kehidupan
manejemen baik di pemerintah maupun dimasyarakat, cara seperti ini sudah
tidak efisien lagi, karena sanagt lamban dan menghambat perubahan.
Menurut J.C Tukiman Taruna pada suatu seminar yang dsimuat di surat
MEDIA tanggal 10 April 1994 menyebutkan antara lain bahwa masyarakat
Indonesia masih bersifat feodalistik, ketat peraturan, lebih menyenangi
tertutup, lebih mempersulit pelayanan kepada orang lain menghadapi orang
lain dengan penuh curiga dalam keadaan tertentu suka main hakim
sendiri, suka membuat peraturan yang menguntungkan atau untuk memperkuat
dirinya. Keadaan seperti ini seharusnya berubah karena tantangan sudah
lain dan oleh Prof.Dr.Muadi dari
UNDIP pada surat kabar yang sama menyatakan perlu paradigma baru
seperti dalam menentukan tujuan itu harus fleksibel,komunikasi harus
terbuka, kebijaksanaan harus rasional dan bersifat partisipatif. Lebih
lanjut dikatakan oleh Dr.Lukman Sutrisno dari UGM ciri tuntutan masa
depan tersebut antara lain berorientasi pada demokrasi dan hak – hak
asasi manusia serta prestasi, menghormati hukum, tidak cepat puas dan
solidaritas sosial tinggi. Menurut Prof.Dr.Warren
Bennis keadaan seperti yang dikemukakan oleh J.C Tukiman Taruna
tersebut disebut matinya birokrasi karena bersifat kaku dan lamban
sehingga tidak mampu lagi mengakomodasi tuntutan – tuntutan baru yang
bersifat cepat dan mendasar. Disebut mendasar karena menyangkut
perubahan sikap dan perilaku SDM dalam upaya merubah perilaku menejemen
baru yang lebih dinamis dan fleksibel. Namun perubahan sikap dan
perilaku SDM tersebut memerlukan proses waktu yang cukup lama agar
menjadi budaya baru.
-
Cara Kerja Baru
Untuk mengatasi tantangan globalisasi diperlukan
perubahan cara kerja baru yang lebih efektif dan efisien, lebih
demkratis dan terbuka, lebih rasional dan fleksibel dan lebih
terdesentralisasi. Dalam perubahan menejemen tersebut dapat dikelola
dengan baik maka akan dipetik keuntungan yang berupa tumbuhnya banyak
prakarsa, aneka ragam kreatifitas dan dorongan partisipasi yang makin
besar. Pertumbuhan semacam itu akan mendorong terwujudnya kemandirian
yang enjadi ciri utama pembangunan dalam rangka menghadapai kehidupan
masa depan. Untuk itu manajemen harus berorientasi pada tujuan agar
lebih efektif dan efisien dengan cara seperti :
-
merumuskan tujuan dan sasran organisasi secara jelas adan rinci
-
tujuan dan sasaran tersebut dijabarkan dalam bentuk kebijaksanaan dan strategi yang operasional
-
dilaksanakan dengan penuh peran serta semua pihak baik yang berupa kerjasama maupun koordinasi
-
pelaksanaan tersebut terus dikendalikan temuannya dianalisis kemudian ditibdaklanjuti berupa perbaikan atau penyempurnaan terus menerus
Perubahan tersebut akan dapat terlaksana
bilamana didahului oleh perubahan sikap dan perilaku SDM yang akan
menjadi pendukung utama perubahan tersebut. Untuk itu diperlukan langkah
kegiatan yang berupa mencari nilai – nilai baru kemudian
dimasyarakatkan atau dilatihkan, dilaksanakan, disempurnakan terus
menjadi kebiasaan kerja dan akhirnya baru menjadi budaya yang
dimilikinya. Unsur yang terkandung dalam upaya perubahan tersebut
meliputi kekuatan motivasi, motivasi tidak akan berarti kalau tidak
memiliki ketrampilan atau profesional, memiliki motivasi, ketrampilan
kebribadian tidak cukup kalu bisa berperan atau berbuat memiliki
motivasi ketrampilan dan kepribadian peran tidak bisa optimal bilamana
tidak memperhatikan faktor manusiawi berupa kejenuhan
Oleh karena itu yang dimaksud dengan produktivitas
budaya kerja adalah sikap mental yang selalu mencari perbaikan atau
menyempurnakan apa yang telah dicapai dengan menerapkan teori – teori
atau metode – metode baru serta yakin akan kemajuan umat manusia. Dalam
hal ini dapat dilihat kaitan antara kepribadian itu terkandung unsur
bakat, ketrampilan, minat, sifat, gairah dan nilai – nilai kepribadian
tersebut menjadi sikap kemudian menjadi perilaku yang mengandung unsur
semangat, disiplin, rajin, jujur, tanggungjawab, hemat, integritas
sehingga hasil kerja akan mencapai kualitas yang tinggi atau memuaskan.
Perilaku menejemen yang menghasilkan produk bermutu
tinggi tersebut dapat dinilai dari unsur antara lain kepemimpinan,
perencanaan,pengorganisasian,penentuan
prioritas,pendelegasian,pengendalian,pemecahan masalah, pengambilan
keputusan, komunikasi lisan, komunikasi tertulis, ketrampilan
administrasi, hubungan antar pribadi, pemeliharaan keselamatan,
kerumahtanggaan, ketepatan waktu dan kehadiran.
-
Karier profesional
Dalam organisasi yang birokratis, ukuran kesuksesan
karier ditentukan oleh kemampuan seseorang untuk naik ke tingkat yang
lebih tinggi dalam rantai komando. Naiknya jabatan seseorang ke jenjang
yang leebih tinggi akan meningkatakan status seseorang di masyarakat.
Promosi dicapai melalui kemampuan teknis.Penentuan karier dalam jabatan
birokrasi lebih ditentukan kepada lama masa kerja dan jenjang pendidikan
namun kurang memeperhatikan prestasi kerja seseorang. Hal yang dipahami
bersama mekanisme dalam pemberian reward dan punisment masih kabur
karena kerja birokrasi yang hampir sama jadi kurang memperhatikan jenis
sanksi dan penghargaan bagi pegawai yang berprestasi dan melanggar
aturan. Penilaian dalam kerja semata – mata hanya digunakan untuk naik
ke tingkat yang lebih tinggi.
-
Hubungan yang impersonal
Hubungan antar pegawai lebih didasarkan pada peran.
Struktur organisasi dan uraian jabatan menentukan apa yang menjadi
ekspektasi dari seorang karyawan berdasarkan peran yang dimilikinya dan
pemegang suatu peran diharapkn untuk menjalankan tanggungjawabnya dengan
cara – cara yang rasional dan tidak emosional.
-
Koordinasi dilakukan oleh mereka yang berada pada tingkat yang lebih tinggi
Karyawan tidak perlu memikirkan
bagaimana harus mengkordinasi pekerjaan dengan rekan mereka. Pimpinan
membagi – bagi pekerjaan serta menjelaskan tugas – tugas yang harus
dilakukan oleh setiap orang. Demikian juga yang dilakukan oleh pimpinan
yang lebih atas lagi, dan seterusnya. Karyawan tidak perlu berfikir
secara luas. Mereka dilarang untuk berkoordinasi dengan rekan kerja
mereka.
Reformasi Birokrasi
Pichot memperkenalkan apa yang disebut
dengan organisasi berbasis intelegensi (intelegensi organization). Dalam
organisasi jenis ini karyawan mengerahkan segala pikiran dan kemampuan
mereka untuk menemukan dan memenfaatkan peluang secara otimal,
menciptakan produk, dan memecahkan permasalahan.Para
karyawan menjalankan tanggung jawab yang diberikan layaknya sebuah
perusahaan kecil, melayani pelanggan internal dan eksternal mereka penuh
perhatian saerta bekerja dengan orang lain dari seluruh organisasi guna
memastikan bahwa seluruh sistem berjalan dengan baik. Setiap orang
menunjukan intelegensi dan tanggungjawabnya terhadap pekerjaan.
Organisasi berbasis intelegensi
dirancang untuk meningkatkan kecerdasan dari beragam talenta yang
dimiliki oleh setiap anggotanya. Sebagai hasilnya organisasi ini dapat
melakukan hal – hal berikut :
-
menghadapi berbagai isu pada yang sama seperti memberi perhatian terhadap satu sama lain, pelanggan, kota dan komunitas
-
mampu menghadapi persaingan secara simultan dan efektif
-
mengimplementasikan pemikiran yang whole system tanpa menunggu fleksibilitas lokal
-
mampu mengidentifikasi isu – isu utama secara lebih baik untuk kemudian dapat ditangani secara cepat
-
belajar dari pengalaman mengenai bagaimana melakukan hal – hal baru
-
mampu secara cepat mengaplikasikan apa yang telah dipelajari
-
menginternalisasikan pembelajaran yang diperoleh keseluruh organisasi serta memanfaatkannya secara kreatif dan fleksibel
-
menunjang kompetensi yang dapat menghasilkan efisiensi biaya dan kinerja yang superior
3. PATOLOGI BIROKRASI
Setelah memahami birokrasi bisa
dianalisis fenomena penyakit yang menjangkiti birokrasi di Indonesia. Di
dalam dunia medis dikenal dengan istilah patologi yang memiliki
pengertian penyakit. Dari pengertian diatas mungkin ada ketidaksinkronan
dalam pemaduan dua kata namun itu hanyalah sekedar istilah untuk
menggambarkan bahwa dalam birokrasi di Indonesia masih belum tertata
dengan baik. Bahayanya manakala penyakit tersebut tidak segera di
”periksa”ke ahlinya maka akan menggejala dalam sebuah sistem yang tidak
ada ujung dan pangkalnya. Dalam birokrasi ada sebuah sistem yang sulit
ditembus karena permasalahan kultur. Melihatbirokrasi di Indonesia tidak
bisa dilepaskan dengan budaya politik yang ada di Indonesia. Budaya
inilah yang sangat sulit dirubah karena berkaitan dengan moral Sumber
Daya Manusia. Ini menjadi gejala awal ”penyakit” karena meskipun
perekrutan dilaksanakan secara terbuka namun masih ada fenomena
kecenderungan ke arah patronase. Sebuah pola yang memanfaatkan
”simbiosis mutualisme” (hubungan yang bersifat menguntungkan).Maka dari
itu perlu penataan kembali birokrasi di Indonesia agar terwujud
pelayanan prima.
Simbiois mutualisme yang terjadi dengan
mempertukarkan atau bisa jadi sebuah hubungan atau relasi kekeluargaan
yang mengesampingkan kualitas sehingga pada saat mereka melakukan
pelayanan publik kurang optimal karena keterbatasan kemampuanakibat
perekrutan yang dilakukan sebuah formalitas belaka. Mental yang
dimilikipun sudah ada ”bawaan” mental korup karena pada saat memasuki
sistemada sumber daya yang mereka pertukarkan dengan si patron (orang
yang memiliki kekuasaan). Pada akhirnya mental sebagai abdi negara tidak
muncul yang ada hanyalah mental yang taat pada ”si patron” sehingga
kepentingan publik menjadi terbengkalai. Hubungan ini bisa diibaratkan
seperti lingkaran setan.
Untuk memangkas rantai ini bukan hal
yang mudah karena perekrutan yang dilaksanakan secara terbuka bahkan
tanpa mempertukarkan sumber dayapun dapat terjangkiti penyakit karena
”orang sehat” masuk ke tempat yang kotor atau tempat yang banyak
menghasilkan bibit penyakit dan menularkan penyakit sangat mampu membuat
orang yang sehat menjadi sakit dan menyebarkan virus ke yang lainnya.
Untuk itulah diperlukan sebuah kekebalan atau imunitas agar virus itu
tidak menggerogoti yang lain. Bagi yang sudah terkena penyakit hendaklah
disembuhkan terlebih dahulu. Mencari format baru untuk menata birokrasi
Indonesia bisa dilakukan dengan pembangunan mental (mental building)
yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat.
Propf.Dr.Sondang
P.Siagian MPA dalam bukunya ”Patologi Birokrasi: Analisis,Identifikasi
dan Terapinya” (1994) menyebut serangkaian contoh penyakit (patologi)
birokrasi yang lazim dijumpai. Penyakit – penyakit tersebut dapat
dikategorikan dalam lima macam :
-
Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya menejerial para pejabat dilingkungan birokrasi
-
Patologi yang timbul karena kurangnya atau rendahnya pengetahuan ketrampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional
-
Patologi yang timbul karena karena tindakan para anggota birokrasi melanggar norma hukum dan peraturan perundang – undangan yang berlaku
-
Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif
-
Patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam berbagai instansi di lingkungan pemerintah
Berikut alternatif pemecahan masalah
patologi di tubuh birokrasi di Indonesia dalam membangun pelayanan
publik yang efisien, responsif, dan akuntabel dan transparan perlu
ditetapkan kebijkan yang menjadi pedoman perilaku aparat birokrasi
pemerintah sebagai berikut :
-
Dalam hubungan dengan berpola patron- klien tidak memiliki standar pelayanan yang jelas/pasti, tidak kreatif.Perlu membuat peraturan Undang – Undang- Undang pelayanan publik yang memihak pada rakyat
-
Dalam hubungan dengan struktur yang gemuk, kinerja berbelit – belit, perlu dilakukan restrukturisasi brokrasi pelayanan publik
-
Untuk mengatasi Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme selain hal diatas diharapkan pemerintah menetapkan perundangan dibidang infomatika (IT) sebagai bagian pengembangan dan pemanfaatan e Goverment agar penyelenggaraan pelayanan publik terdapat transparasi dan saling kontrol.
-
Setiap daerah provinsi dan kabupaten dituntut membuat Perda yang jelas mengatur secara seimbang hak dan kewajiban dari penyelenggara dan pengguna pelayanan publik
-
Setiap daerah diperlukan lembaga Ombusman. Lembaga ini bisa berfungsiingin mendudukan warga pada pelayanan yang prima. Ombusman harus diberikan kewenangan yang memadai untuk melakukan investigasi dan mencari penyelesaian yang adil terhadap perselisihan antara pengguna jasa dan penyelenggara dalam proses pelayanan publik.
-
Peran kualitas sumber daya aparatur sangat mempengaruhi kualitas pelayanan, untuk itu kemampuan kognitif yang bersumber dari intelegensi dan pengalaman,skill atau ketrampilan, yang didukung oleh sikap (attitude) merupakan faktor yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah patologi atau penyakit birokrasi yang berhubungan dengan pelayanan publik di Indonesia. Untuk itu pelatihan diharapkan mampu menjadi program yang berkelanjutan agar sumber daya aparatur memeliki kecerdasan inteltual,emosional dan spiritual sebagai landasan dalam pelayanan publik.
4. PENUTUP
Pengembangan sumber daya aparatur bukanlah satu –
satunya cara untuk keluar dari kemelut birokrasi. Tetapi sebagai sebuah
usaha tentu ada hasilnya, keseluruhan pembinaan kualitas birokrasi atau
aparatur pemerintah setidaknya ada setitik pencerahan, namun harus tetap
ditingkatkan secara terus menerus agar dapat diciptakan sosok birokrasi
atau aparatur yang profesional dan berkarakter. Dengan usaha – usaha
yang seperti telas disampaikan pada pembahasan diatas diharapkan dapat
mewujudkan Good Governance. Meningkatkan profesionalisme birokrasi
melalui perubahan paradigma, perilaku dan orientasi pelayanan kepada
publik.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Badu.2008.Kondisi Birokrasi Di Indonesia Dalam Hubungannya Dengan Pelayanan Publik.Jurnal Administrasi Publik. Volume IV.PKP2A LAN Makasar
Supriyadi,Gering. 2009. Budaya Kerja Organisasi Pemerintah. Lembaga Administrasi Negara
Susanto dkk,2010.Reinvensi Pembangunan Ekonomi Daerah. PT Gelora Aksara Pratama Erlangga. Jakarta
Wahyu,Mardyanto.2011.Kerangka pencegahan Konflik di Indonesia.BAPPENAS-PTD-LIPI-UNDP,Jakarta
Witianti,Siti.2007.Budaya Politik dan Pembangunan.Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjajaran
Yansyah,Ali.2009.Perpektif Sumber Daya Manusia dalam Pengembangan Badan Usaha Milik Daerah.Jurnal Volume IV No.2.LIPI
Thank for visit this blogg, semoga bermanfaat !!!
Patologi Birokrasi di Negri Kita Tercinta
Reviewed by Unknown
on
Wednesday, March 23, 2016
Rating:
No comments: