Patologi Birokrasi di Negri Kita Tercinta

Patologi adalah bahasa kesehatan yang yang skarang lazim digunakan dalam dunia pemerintahan. Kata patologi dalam birokrasi mempunyai arti bahwa di dalam pemerintahan terdapat suatu penyakit. 

Patologi artinya penyakit dalam bahasa kesehatan, artinya jika kita mendengat kata patologi birokrasi maka dalam pemerintahan tersebut terdapat patologi dan biasanya patologi di dalam pemerintahan tidak pernah ada yang bisa di anggap sepele, misalnya saja dalam perekrtutan pegawai negri sipil bukan melihat dari skill dan potensi yang dimiliki akan tetapi melihat berdasarkan kekeluargaan, kerabat, atau siapa yang punya uang dia yang lolos. 

Mari masuk ke pembahasan Birokrasi hahaha ... ! Kutip ajah dari wikipedia yah, singkat aja tapi jelas lah !!!

Birokrasi berasal dari kata bureaucracy (bahasa inggris bureau + cracy), diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida, di mana lebih banyak orang berada ditingkat bawah daripada tingkat atas, biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya administratif maupun militer.
Pada rantai komando ini setiap posisi serta tanggung jawab kerjanya dideskripsikan dalam organigram. Organisasi ini pun memiliki aturan dan prosedur ketat sehingga cenderung kurang fleksibel. Ciri lainnya adalah biasanya terdapat banyak formulir yang harus dilengkapi dan pendelegasian wewenang harus dilakukan sesuai dengan hirarki kekuasaan.

PATOLOGI BIROKRASI

Di dalam dunia medis dikenal dengan istilah patologi yang memiliki pengertian penyakit. Dari pengertian diatas mungkin ada ketidaksinkronan dalam pemaduan dua kata namun itu hanyalah sekedar istilah untuk menggambarkan bahwa dalam birokrasi di Indonesia masih belum tertata dengan baik. Bahayanya manakala penyakit tersebut tidak segera di ”periksa”ke ahlinya maka akan menggejala dalam sebuah sistem yang tidak ada ujung dan pangkalnya. Dalam birokrasi ada sebuah sistem yang sulit ditembus karena permasalahan kultur. Melihatbirokrasi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dengan budaya politik yang ada di Indonesia. Budaya inilah yang sangat sulit dirubah karena berkaitan dengan moral Sumber Daya Manusia. Ini menjadi gejala awal ”penyakit” karena meskipun perekrutan dilaksanakan secara terbuka namun masih ada fenomena kecenderungan ke arah patronase. Sebuah pola yang memanfaatkan ”simbiosis mutualisme” (hubungan yang bersifat menguntungkan).Maka dari itu perlu penataan kembali birokrasi di Indonesia agar terwujud pelayanan prima.

Dalam perjalanan Bangsa Indonesia birokrasi tidak bisa dilepaskan dalam system pemerintahan. Keberadaan birokrasi sampai saat masih membawa polemic yang berkepanjangan. Tuntutan reformasi setidaknya telah merubah wajah birokrasi Indonesia meskipun belum terlalu signifikan. Agenda reformasi dalam tubuh birokrasi di Indonesia ditujukan bukan lagi sekedar untuk membangun Institusi birokrasi yang professional secara menejerial, namun pada bagaimana birokrasi tersebut mampu merepresentasikan konfigurasi social yang ada untuk menjamin keterwakilan masing – masing komunitas social yang telah mengakar kuat di dalam tubuh birokrasi. Pendeteksian penyakit birokrasi atau yang sering disebut patologi dalam dunia medis sebainya juga dilakukan kepada birokrasi di Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar penyakit – penyakit yang ada dalam tubuh birokrasi di Indonesia tidak menular ke yang lainnya sebagi upaya preventif bahkan lebih dari itu bisa disembuhkan secara total meskipun membutuhkan waktu yang lama. Upaya meminimalisir penyakit yang terjadi di birokrasi dihrapkan dapt membawa perubahan terhadap pelayanan public yang prima.
Persoalan patologi atau penyakit birokrasi bersumber dari rekruitmen dan penempatan birokrat yang tidak berdasarkan merit system (berdasarkan jenjang karir). Selain itu keterlibatan birokrasi dalam politik dianggap sebagai hal yang harus diwaspadai karena birokrasi bukanlah institusi atau lembaga yang bisa mewakilkan kepentingan kelompok atau golongan tertentu. Secara makro atau nasional persoalan birokrasi di Indonesia lebih di dominasi karena kurangnya pemisahan atau segresi yang jelas antara kepentingan politik dan administrasi. Masih seriong dijumpai birokrat terlibat secara aktif dalam kegiatan politik dan juga adanya politisi yang selalu mendominasi proses – proses birokrasi sehinggga kebijakan yang diambil dalam birokrasi merupakan kebijakan politik dari orang – orang yang memiliki kepentingan tertentu. Reformasi birokrasi di Indonesia masih bergulir namun sampai saat ini belum ada regulasi (peraturan) yang menjamin depolitisasi birokrasi secara subtansial. Persoalan tersebut seperti mengurai benang kusut karena ke depan bila model birokrasi yang seperti it uterus dijalankan akan dapat memunculkan konflik tertutama menimbulkan praktik kolusi dan nepotisme dalam rekruitmen, penempatan, promosi dan mutasi birokrasi masih sering terjadi. Praktik – praktik yang seperti ini pada kenyataannya sudah menjadi rahasia umum yang pada akhirnya praktik – praktik korupsi dan pengamanan sumber –sumber ekonomi termasuk keuangan Negara dari kelompok yang sedang berkuasa dengan menjalin korporasi menjadi sebuah system yang penuh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Sistem model birokrasi Weber dianggap juga sebuah system yang kurang efektif untuk dijalankan di Indonesia karena hal ini sangat berhubungan dengan kultur budaya di Indonesia yaitu patron klien. Model tersebut, dianggap menyuburkan korupsi, kolusi dan nepotisme di Indonesia. Tuntutan merit system dalam rekruitmen birokrasi terutama di daerah ternyata sulit dipenuhi karena persoalan primordialisme. Rekruitmen pegawai baru maupun penempatan jabatan public lebih ditentukan oleh penguasa daerah (kepala daerah atau kekuatan birokrasi dominan). Praktik ini semakin meminggirkan kelompok lain sehingga memunculkan kecemburuan dan bahkan kebencian kepada kelompok yang sedang berkuasa. Pada akhirnya konfliklah yang terjadi baik vertical maupun horizontal karena motif kepentingan. Dengan penyakit yang seperti diungkapkan diatas perlu penanganan yang serius agar tidak mewabah tentunya dengan regulasi yang jelas dan merubah kultur birokrasi agar tidak terjadi penyimpangan – penyimpangan dalam bentuk Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
2. MEMAHAMI BIROKRASI
Menurut beberapa orang menganggap bahwa birokrasi adalah sebuah organisasi yang paling efesien namun dilapangan hal ini menjadi berbeda. Menurut Pichot cir- ciri birokrasi yang birokratis adalah sebagai berikut :
  • Rantai Komando yang hirearkhis
Struktur organisasi birokratis bebentuk piramida dengan kekuasaan seorang pemimpin di puncak yang membagi – bagi keseluruhan tugas – tugas dalam organisasi serta memberikan tanggung jawab bagi sub tugas kepada setiap sub pemimpin melalui rantai komando yang tidak terputus. Dalam system yang hirearkhis seperti ini keputusan diperoleh langsung dari atasan yang terkadanmg kurang menyerap aspirasi bawahan karena bawahan hanyalah pelaksana yang harus melaksanakan tugas yang diperintah oleh atasan. Birokrasi yang hirearkhis ini juga memberikan peluang kepada orang untuk melakukan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme karena budaya yang dibangun adalah budaya patron clien dimana seorang bawahan harus siap melaksanakan segala sesuatu yang diperintah oleh atasan. Peluang juga akan muncul manakala kekuasaan yang dimiliki akan disalah gunakan untuk kepentingannya sendiri yaitu mengeruk sebesar – besarnya untuk kepentingan pribadi dengan mengenyampingkan kepentingan umum. Motif ekonomi juga menjadi dasar bagi para pemegang kekuasaan dengan kekuatannya sebagi seorang atasan karena wewenangnya yang diberikan penuh oleh system.
  • Spesialisasi berdasarkan fungsi
Struktur organisasi yan birokratis diciptakan dengan membagi tugas – tugas ke dalam spesialisasi atau fungsi yang jelas. Hal ini memungkinkan setiap karyawan untuk berkonsentrasi hanya kepada aspek – aspek yang kecil dari keseluruhan aktivitas organisasi. Dengan spesialisasi pekerjaan dilihat dari sisi positifnya memberikan kemampuan kepada karyawan agar tefokus pada bidang tertentu ini berarti adanya skill khusus dalam mengerjakan sesuatu namun dari negatifnya dengan adanya spesialisasi karyawan menjadi kurang mampu menguasai bidang – bidang yang lainnya. Pembagian kerja ini juga mengakibatkan tidak adanya budaya saling membantu terhadap bidang yang lain dikarenakan masing – masing bidang hanya akan mengurusi wilayah kerjanya sendiri.
  • Peraturan tertulis dan kebijkan yang seragam
Pemimpin bertanggungjawab terhadap keseluruhan tindakan – tindakan bawahannya serta memilki hak untuk memberikan perintah yang wajib dipatuhi oleh bawahan. Kebijakan merupakan sebuah tindakan yang dilakukan untunk mebuat decision yang akan berimbas kepada publik namun bisa dipastikan dalam birokrasi kebijakan yang dibuat oleh atasan hampir seragam. Kebijakan ini membuat para pengguna kebijakan menjadi tidak memilki peluang untuk menyampaikan aspirasinya. Model keseragaman ini setidaknya meminimalisir bawahan untuk terlalu ikut campur atau melakukan pengawasan terhadap atasan sehingga ada keleluasaan dari atasan untuk berbuat segala sesuatunya karena kurangnya pengawasan. Dampak dari pemngambilan keputusan yang salah akan langsung berimbas ke publik karena model keseragam yang diterapkan di setiap instansi pemerintah adalah sama.
  • Prosedur yang terstandarisasi dalam pekerjaan
Hal ini kadang – kadang terjadi bahkan sampai kepada tingkat yang paling detail.Prosedur yang standar ini bermanfaat untuk mengatasi resistensi yang tidak rasional sehingga pekerjaan yang dilakukan menjadi lebih efektif. Dalam menjalannkan tugasnya seorang karyawan harus bekerja dengan instruksi pimpinan dan juga berdasarkan tugas, pokok dan fungsi. Adanya standarisasi seharusnya menjadikan birokrasi bekerja dengan optimal dalam memberikan pelayanan kepada publik.
Berikut akan disampaikan cara kerja birokrasi model tradisional dan cara kerja birokrasi baru.
  1. Cara Kerja Tradisional
Cara kerja tradisional ini mewarnai kehidupan manejemen baik di pemerintah maupun dimasyarakat, cara seperti ini sudah tidak efisien lagi, karena sanagt lamban dan menghambat perubahan. Menurut J.C Tukiman Taruna pada suatu seminar yang dsimuat di surat MEDIA tanggal 10 April 1994 menyebutkan antara lain bahwa masyarakat Indonesia masih bersifat feodalistik, ketat peraturan, lebih menyenangi tertutup, lebih mempersulit pelayanan kepada orang lain menghadapi orang lain dengan penuh curiga dalam keadaan tertentu suka main hakim sendiri, suka membuat peraturan yang menguntungkan atau untuk memperkuat dirinya. Keadaan seperti ini seharusnya berubah karena tantangan sudah lain dan oleh Prof.Dr.Muadi dari UNDIP pada surat kabar yang sama menyatakan perlu paradigma baru seperti dalam menentukan tujuan itu harus fleksibel,komunikasi harus terbuka, kebijaksanaan harus rasional dan bersifat partisipatif. Lebih lanjut dikatakan oleh Dr.Lukman Sutrisno dari UGM ciri tuntutan masa depan tersebut antara lain berorientasi pada demokrasi dan hak – hak asasi manusia serta prestasi, menghormati hukum, tidak cepat puas dan solidaritas sosial tinggi. Menurut Prof.Dr.Warren Bennis keadaan seperti yang dikemukakan oleh J.C Tukiman Taruna tersebut disebut matinya birokrasi karena bersifat kaku dan lamban sehingga tidak mampu lagi mengakomodasi tuntutan – tuntutan baru yang bersifat cepat dan mendasar. Disebut mendasar karena menyangkut perubahan sikap dan perilaku SDM dalam upaya merubah perilaku menejemen baru yang lebih dinamis dan fleksibel. Namun perubahan sikap dan perilaku SDM tersebut memerlukan proses waktu yang cukup lama agar menjadi budaya baru.
  1. Cara Kerja Baru
Untuk mengatasi tantangan globalisasi diperlukan perubahan cara kerja baru yang lebih efektif dan efisien, lebih demkratis dan terbuka, lebih rasional dan fleksibel dan lebih terdesentralisasi. Dalam perubahan menejemen tersebut dapat dikelola dengan baik maka akan dipetik keuntungan yang berupa tumbuhnya banyak prakarsa, aneka ragam kreatifitas dan dorongan partisipasi yang makin besar. Pertumbuhan semacam itu akan mendorong terwujudnya kemandirian yang enjadi ciri utama pembangunan dalam rangka menghadapai kehidupan masa depan. Untuk itu manajemen harus berorientasi pada tujuan agar lebih efektif dan efisien dengan cara seperti :
    1. merumuskan tujuan dan sasran organisasi secara jelas adan rinci
    2. tujuan dan sasaran tersebut dijabarkan dalam bentuk kebijaksanaan dan strategi yang operasional
    3. dilaksanakan dengan penuh peran serta semua pihak baik yang berupa kerjasama maupun koordinasi
    4. pelaksanaan tersebut terus dikendalikan temuannya dianalisis kemudian ditibdaklanjuti berupa perbaikan atau penyempurnaan terus menerus
Perubahan tersebut akan dapat terlaksana bilamana didahului oleh perubahan sikap dan perilaku SDM yang akan menjadi pendukung utama perubahan tersebut. Untuk itu diperlukan langkah kegiatan yang berupa mencari nilai – nilai baru kemudian dimasyarakatkan atau dilatihkan, dilaksanakan, disempurnakan terus menjadi kebiasaan kerja dan akhirnya baru menjadi budaya yang dimilikinya. Unsur yang terkandung dalam upaya perubahan tersebut meliputi kekuatan motivasi, motivasi tidak akan berarti kalau tidak memiliki ketrampilan atau profesional, memiliki motivasi, ketrampilan kebribadian tidak cukup kalu bisa berperan atau berbuat memiliki motivasi ketrampilan dan kepribadian peran tidak bisa optimal bilamana tidak memperhatikan faktor manusiawi berupa kejenuhan
Oleh karena itu yang dimaksud dengan produktivitas budaya kerja adalah sikap mental yang selalu mencari perbaikan atau menyempurnakan apa yang telah dicapai dengan menerapkan teori – teori atau metode – metode baru serta yakin akan kemajuan umat manusia. Dalam hal ini dapat dilihat kaitan antara kepribadian itu terkandung unsur bakat, ketrampilan, minat, sifat, gairah dan nilai – nilai kepribadian tersebut menjadi sikap kemudian menjadi perilaku yang mengandung unsur semangat, disiplin, rajin, jujur, tanggungjawab, hemat, integritas sehingga hasil kerja akan mencapai kualitas yang tinggi atau memuaskan.
Perilaku menejemen yang menghasilkan produk bermutu tinggi tersebut dapat dinilai dari unsur antara lain kepemimpinan, perencanaan,pengorganisasian,penentuan prioritas,pendelegasian,pengendalian,pemecahan masalah, pengambilan keputusan, komunikasi lisan, komunikasi tertulis, ketrampilan administrasi, hubungan antar pribadi, pemeliharaan keselamatan, kerumahtanggaan, ketepatan waktu dan kehadiran.
  • Karier profesional
Dalam organisasi yang birokratis, ukuran kesuksesan karier ditentukan oleh kemampuan seseorang untuk naik ke tingkat yang lebih tinggi dalam rantai komando. Naiknya jabatan seseorang ke jenjang yang leebih tinggi akan meningkatakan status seseorang di masyarakat. Promosi dicapai melalui kemampuan teknis.Penentuan karier dalam jabatan birokrasi lebih ditentukan kepada lama masa kerja dan jenjang pendidikan namun kurang memeperhatikan prestasi kerja seseorang. Hal yang dipahami bersama mekanisme dalam pemberian reward dan punisment masih kabur karena kerja birokrasi yang hampir sama jadi kurang memperhatikan jenis sanksi dan penghargaan bagi pegawai yang berprestasi dan melanggar aturan. Penilaian dalam kerja semata – mata hanya digunakan untuk naik ke tingkat yang lebih tinggi.
  • Hubungan yang impersonal
Hubungan antar pegawai lebih didasarkan pada peran. Struktur organisasi dan uraian jabatan menentukan apa yang menjadi ekspektasi dari seorang karyawan berdasarkan peran yang dimilikinya dan pemegang suatu peran diharapkn untuk menjalankan tanggungjawabnya dengan cara – cara yang rasional dan tidak emosional.
  • Koordinasi dilakukan oleh mereka yang berada pada tingkat yang lebih tinggi
Karyawan tidak perlu memikirkan bagaimana harus mengkordinasi pekerjaan dengan rekan mereka. Pimpinan membagi – bagi pekerjaan serta menjelaskan tugas – tugas yang harus dilakukan oleh setiap orang. Demikian juga yang dilakukan oleh pimpinan yang lebih atas lagi, dan seterusnya. Karyawan tidak perlu berfikir secara luas. Mereka dilarang untuk berkoordinasi dengan rekan kerja mereka.
 
Reformasi Birokrasi
Pichot memperkenalkan apa yang disebut dengan organisasi berbasis intelegensi (intelegensi organization). Dalam organisasi jenis ini karyawan mengerahkan segala pikiran dan kemampuan mereka untuk menemukan dan memenfaatkan peluang secara otimal, menciptakan produk, dan memecahkan permasalahan.Para karyawan menjalankan tanggung jawab yang diberikan layaknya sebuah perusahaan kecil, melayani pelanggan internal dan eksternal mereka penuh perhatian saerta bekerja dengan orang lain dari seluruh organisasi guna memastikan bahwa seluruh sistem berjalan dengan baik. Setiap orang menunjukan intelegensi dan tanggungjawabnya terhadap pekerjaan.
Organisasi berbasis intelegensi dirancang untuk meningkatkan kecerdasan dari beragam talenta yang dimiliki oleh setiap anggotanya. Sebagai hasilnya organisasi ini dapat melakukan hal – hal berikut :
  • menghadapi berbagai isu pada yang sama seperti memberi perhatian terhadap satu sama lain, pelanggan, kota dan komunitas
  • mampu menghadapi persaingan secara simultan dan efektif
  • mengimplementasikan pemikiran yang whole system tanpa menunggu fleksibilitas lokal
  • mampu mengidentifikasi isu – isu utama secara lebih baik untuk kemudian dapat ditangani secara cepat
  • belajar dari pengalaman mengenai bagaimana melakukan hal – hal baru
  • mampu secara cepat mengaplikasikan apa yang telah dipelajari
  • menginternalisasikan pembelajaran yang diperoleh keseluruh organisasi serta memanfaatkannya secara kreatif dan fleksibel
  • menunjang kompetensi yang dapat menghasilkan efisiensi biaya dan kinerja yang superior

3. PATOLOGI BIROKRASI

Setelah memahami birokrasi bisa dianalisis fenomena penyakit yang menjangkiti birokrasi di Indonesia. Di dalam dunia medis dikenal dengan istilah patologi yang memiliki pengertian penyakit. Dari pengertian diatas mungkin ada ketidaksinkronan dalam pemaduan dua kata namun itu hanyalah sekedar istilah untuk menggambarkan bahwa dalam birokrasi di Indonesia masih belum tertata dengan baik. Bahayanya manakala penyakit tersebut tidak segera di ”periksa”ke ahlinya maka akan menggejala dalam sebuah sistem yang tidak ada ujung dan pangkalnya. Dalam birokrasi ada sebuah sistem yang sulit ditembus karena permasalahan kultur. Melihatbirokrasi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dengan budaya politik yang ada di Indonesia. Budaya inilah yang sangat sulit dirubah karena berkaitan dengan moral Sumber Daya Manusia. Ini menjadi gejala awal ”penyakit” karena meskipun perekrutan dilaksanakan secara terbuka namun masih ada fenomena kecenderungan ke arah patronase. Sebuah pola yang memanfaatkan ”simbiosis mutualisme” (hubungan yang bersifat menguntungkan).Maka dari itu perlu penataan kembali birokrasi di Indonesia agar terwujud pelayanan prima.
Simbiois mutualisme yang terjadi dengan mempertukarkan atau bisa jadi sebuah hubungan atau relasi kekeluargaan yang mengesampingkan kualitas sehingga pada saat mereka melakukan pelayanan publik kurang optimal karena keterbatasan kemampuanakibat perekrutan yang dilakukan sebuah formalitas belaka. Mental yang dimilikipun sudah ada ”bawaan” mental korup karena pada saat memasuki sistemada sumber daya yang mereka pertukarkan dengan si patron (orang yang memiliki kekuasaan). Pada akhirnya mental sebagai abdi negara tidak muncul yang ada hanyalah mental yang taat pada ”si patron” sehingga kepentingan publik menjadi terbengkalai. Hubungan ini bisa diibaratkan seperti lingkaran setan.
Untuk memangkas rantai ini bukan hal yang mudah karena perekrutan yang dilaksanakan secara terbuka bahkan tanpa mempertukarkan sumber dayapun dapat terjangkiti penyakit karena ”orang sehat” masuk ke tempat yang kotor atau tempat yang banyak menghasilkan bibit penyakit dan menularkan penyakit sangat mampu membuat orang yang sehat menjadi sakit dan menyebarkan virus ke yang lainnya. Untuk itulah diperlukan sebuah kekebalan atau imunitas agar virus itu tidak menggerogoti yang lain. Bagi yang sudah terkena penyakit hendaklah disembuhkan terlebih dahulu. Mencari format baru untuk menata birokrasi Indonesia bisa dilakukan dengan pembangunan mental (mental building) yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat.
Propf.Dr.Sondang P.Siagian MPA dalam bukunya ”Patologi Birokrasi: Analisis,Identifikasi dan Terapinya” (1994) menyebut serangkaian contoh penyakit (patologi) birokrasi yang lazim dijumpai. Penyakit – penyakit tersebut dapat dikategorikan dalam lima macam :
  1. Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya menejerial para pejabat dilingkungan birokrasi
  2. Patologi yang timbul karena kurangnya atau rendahnya pengetahuan ketrampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional
  3. Patologi yang timbul karena karena tindakan para anggota birokrasi melanggar norma hukum dan peraturan perundang – undangan yang berlaku
  4. Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif
  5. Patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam berbagai instansi di lingkungan pemerintah
Berikut alternatif pemecahan masalah patologi di tubuh birokrasi di Indonesia dalam membangun pelayanan publik yang efisien, responsif, dan akuntabel dan transparan perlu ditetapkan kebijkan yang menjadi pedoman perilaku aparat birokrasi pemerintah sebagai berikut :
  1. Dalam hubungan dengan berpola patron- klien tidak memiliki standar pelayanan yang jelas/pasti, tidak kreatif.Perlu membuat peraturan Undang – Undang- Undang pelayanan publik yang memihak pada rakyat
  2. Dalam hubungan dengan struktur yang gemuk, kinerja berbelit – belit, perlu dilakukan restrukturisasi brokrasi pelayanan publik
  3. Untuk mengatasi Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme selain hal diatas diharapkan pemerintah menetapkan perundangan dibidang infomatika (IT) sebagai bagian pengembangan dan pemanfaatan e Goverment agar penyelenggaraan pelayanan publik terdapat transparasi dan saling kontrol.
  4. Setiap daerah provinsi dan kabupaten dituntut membuat Perda yang jelas mengatur secara seimbang hak dan kewajiban dari penyelenggara dan pengguna pelayanan publik
  5. Setiap daerah diperlukan lembaga Ombusman. Lembaga ini bisa berfungsiingin mendudukan warga pada pelayanan yang prima. Ombusman harus diberikan kewenangan yang memadai untuk melakukan investigasi dan mencari penyelesaian yang adil terhadap perselisihan antara pengguna jasa dan penyelenggara dalam proses pelayanan publik.
  6. Peran kualitas sumber daya aparatur sangat mempengaruhi kualitas pelayanan, untuk itu kemampuan kognitif yang bersumber dari intelegensi dan pengalaman,skill atau ketrampilan, yang didukung oleh sikap (attitude) merupakan faktor yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah patologi atau penyakit birokrasi yang berhubungan dengan pelayanan publik di Indonesia. Untuk itu pelatihan diharapkan mampu menjadi program yang berkelanjutan agar sumber daya aparatur memeliki kecerdasan inteltual,emosional dan spiritual sebagai landasan dalam pelayanan publik.

4. PENUTUP
Pengembangan sumber daya aparatur bukanlah satu – satunya cara untuk keluar dari kemelut birokrasi. Tetapi sebagai sebuah usaha tentu ada hasilnya, keseluruhan pembinaan kualitas birokrasi atau aparatur pemerintah setidaknya ada setitik pencerahan, namun harus tetap ditingkatkan secara terus menerus agar dapat diciptakan sosok birokrasi atau aparatur yang profesional dan berkarakter. Dengan usaha – usaha yang seperti telas disampaikan pada pembahasan diatas diharapkan dapat mewujudkan Good Governance. Meningkatkan profesionalisme birokrasi melalui perubahan paradigma, perilaku dan orientasi pelayanan kepada publik.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Badu.2008.Kondisi Birokrasi Di Indonesia Dalam Hubungannya Dengan Pelayanan Publik.Jurnal Administrasi Publik. Volume IV.PKP2A LAN Makasar
Supriyadi,Gering. 2009. Budaya Kerja Organisasi Pemerintah. Lembaga Administrasi Negara
Susanto dkk,2010.Reinvensi Pembangunan Ekonomi Daerah. PT Gelora Aksara Pratama Erlangga. Jakarta
Wahyu,Mardyanto.2011.Kerangka pencegahan Konflik di Indonesia.BAPPENAS-PTD-LIPI-UNDP,Jakarta
Witianti,Siti.2007.Budaya Politik dan Pembangunan.Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjajaran
Yansyah,Ali.2009.Perpektif Sumber Daya Manusia dalam Pengembangan Badan Usaha Milik Daerah.Jurnal Volume IV No.2.LIPI


Thank for visit this blogg, semoga bermanfaat !!!
Patologi Birokrasi di Negri Kita Tercinta Patologi Birokrasi di Negri Kita Tercinta Reviewed by Unknown on Wednesday, March 23, 2016 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.